Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa
dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di
Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya
Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai
delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan
dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang
tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos
di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam.
Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di
HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS
tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau
sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar
“Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan
mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan
Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin,
Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam
pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan
Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada
Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno
bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali
ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian
dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno
dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam
sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar
negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18
Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik
Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang
kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau
berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun
bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika
di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat
yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR
mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang
pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di
Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya,
Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan
Proklamasi”.
Dibalik
Kebesaran Soekarno
“AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena
rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” Pengakuan
ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api
Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di
sana. Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu membutuhkan
dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup. Dari
pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia menggunakan
bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat dukungan dari orang
lain.
Gejala berbahasa Soekarno, Bung Karno, merupakan fenomena
langka yang mengundang kagum banyak orang. Wajar kalau muncul pertanyaan
“Apakah kemahiran Soekarno menggunakan bahasa dengan segala ma-cam gayanya
berhubungan dengan kepribadiannya?” Analisis terhadap kepribadian Soekarno
melalui autobiografi, karangan-karangannya, dan buku-buku sejarah yang memuat
sepak terjangnya dapat membantu memberikan jawaban. Dengan menggunakan
pendekatan teori psi-kologi individual dari Alfred Adler (Hall dan Lindzey,
1985) dapat dipahami bagaimana Proklamator Kemerdekaan RI ini bisa menjadi
pribadi yang berapi-api, pembakar semangat banyak orang, gagah dan teguh
sekaligus sensitif, takut pada kesendirian, dan sangat membutuhkan dukungan
sosial.
Pribadi yang kesepian
Di akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering merasa kesepian.
Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung
Lidah Rakyat, ia menceritakannya.
“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang
sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat
denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku,
‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang
ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan
mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’… Untuk pertama kali
dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”
(Adams, 2000:3)
“Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak
ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah
yang berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini
di sekelilingmu.”
(Adams, 2000:14)
Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom
orang terkenal. Ia diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi
bebas bepergian sendiri menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun,
melihat ke masa mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana.
Semasa sekolah di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan
berkubang dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya.
Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal
sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91).
Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang
penjara. Malam-malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan
tertutup. Dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu
muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang
tahanan itu.
“Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu
adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat
dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku
merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku
tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku,
jauh sama sekali dari keadaan normal.” (Adams, 2000:135)
Lebih jauh lagi ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa
sedih karena hidup dalam kemelaratan sehingga tak dapat menikmati benda-benda
yang diidamkannya. Di saat anak-anak lain dapat menikmati makanan jajanan dan
mainan, Karno hanya dapat menyaksikan mereka dengan perasaan sedih. Lalu ia
menangis mengungkapkan ketidakpuasan sekaligus ketakberdayaannya. Selain itu,
di lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anak-anak Belanda yang sudah
terbiasa memandang remeh pribumi.
Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di masa lima tahun
pertama. Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit seperti tifus,
disentri, dan malaria yang berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi
Karno, nama seorang tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi
balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit yang
melemah-kan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat
mungkin muncul perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno
kecil. Untungnya dilakukan penggantian nama disertai penjelasan dari ayahnya
tentang makna pergantian nama yang memberinya kebanggaan karena menyandang nama
pejuang besar.
Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak
membekas kuat dalam ingatan Soekarno. Di masa tuanya, ia menafsirkan
kegemarannya bersenang-senang sebagai kompensasi dari masa lalunya yang
dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian
menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang
tinggi.
Mitos-mitos dari masa kecil
Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang diri-nya
sebagai pejuang besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai,
menceritakan makna kelahiran di waktu fajar.
“Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan
menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam
pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu
kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya
telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau
lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.” (Adams, 2000:24)
Tanggal kelahiran Soekarno pun dipandangnya sebagai pertanda
nasib baik.
“Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam
bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan
bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua
sifat yang berlawanan.” (Adams, 2000:25)
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang
berlawanan sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik.
“Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat
memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua
orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda
lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seseorang yang
merangkul semua-nya.”
Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno
adalah meletusnya Gunung Ke-lud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan,
“Orang yang percaya kepada takhayul meramalkan, ‘Ini adalah penyambutan terhadap
bayi Soekarno,” Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi
Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya
sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya.
Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari
kelahiran Soekarno memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno
sejak masa kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu
disebut fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak
didasari kenyataan), tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan
kepribadian manusia untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler,
1930:400). Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di
masa depan dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai
kemerdekaan Indonesia.
Bombasme bahasa dan keinginan merengkuh massa
Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato tiap tanggal 17
Agustus. Di sana dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk, penggunaan
perumpamaan elemen-elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa. Dari tahun
ke tahun pidatonya makin gegap-gempita, mencoba membakar semangat massa
pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk.
Dari kalimat-kalimat itu dapat dibayangkan seperti apakah
kondisi psikis orang yang menggunakannya. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus
1949, contohnya, ia berseru, “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita
masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali.” Di sini
ada indikasi ia menempatkan diri sebagai orang yang bersemangat elang rajawali
sehingga memiliki hak dan kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar
memiliki semangat yang sama dengannya.
Seruan-seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah
tentang perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti.
“Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah
membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan
soal-soal itu.”
(Pidato 17 Agustus 1948)
“Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang
kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk
mempertahankannya.”
(Pidato 17 Agustus 1956)
“Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku
Indonesia: “Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah Persatuan, jagalah
Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak
waktu yang akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta.”
(Pidato 17 Agustus 1966)
Selain ajakan untuk berjuang, tersirat juga dari
petikan-petikan tersebut bahwa Soekarno memandang dirinya sebagai orang yang
terus-menerus berjuang mengisi kemerdekaan. Pengaruh fictional final goals-nya
terlihat jelas, Soekarno yang sejak kecil membayangkan diri menjadi pemimpin
bangsanya dengan kepercayaan tinggi menempatkan dirinya sebagai guru bagi
rakyat.
“Adakanlah ko-ordinasi, ada-kanlah simponi yang
seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan
janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum.”
(Pidato 17 Agustus 1951)
“Kembali kepada jiwa Proklamasi …. kembali kepada
sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional… kedua jiwa
ichlas… ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangunan.”
(Pidato 17 Agustus 1952)
“Dalam pidatoku “Berilah isi kepada kehidupanmu” kutegaskan:
“Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak
revolusioner…. jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan…” kita adalah
“fighting nation” yang tidak mengenal “journey’s-end”
(Pidato 17 Agustus 1956)
Keinginannya untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak
dari kesenangannya tampil di depan massa. Bombasme-kecenderungan yang kuat
untuk menggunakan kalimat-kalimat muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai
oleh tindakan konkret-praktis untuk mencapainya yang ditampilkannya dapat
diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat. Pidato-pidatonya banyak mengandung
gaya hiperbola dan metafora yang berlebihan seperti “Laksana Malaikat yang
menyerbu dari langit”, “adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara
kepentingan sendiri dan kepentingan umum”, “Bangsa yang gila kemuktian, satu
bangsa yang berkarat”, dan “memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu
sekalipun.” Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya bahasa yang digunakan
untuk memikat massa.
“Janganlah melihat ke masa depan dengan Mata Buta! Masa yang
lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata benggalanya dari pada masa
yang akan datang.”
(Pidato 17 Agustus 1966)
“Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem”? Bangsa
yang ‘zelfgenoegzaam’? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum teh
nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak
mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!”
(Pidato 17 Agustus 1960)
Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat
penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah
ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas
tapak palune pande, ora tedas gurindo.
(Pidato 17 Agustus 1963)
Gaya menggurui dari tahun ke tahun makin jelas terlihat
dalam pidato Soekarno. Ia makin sering membuka pidatonya dengan kalimat “Saya
akan memberi kursus tentang”. Pengaruh gambaran masa kecilnya tentang Soekarno
sebagai pembuka fajar baru bagi bangsanya makin tegas. Ia tak menyadari bahwa
gambaran itu bersifat fiktif, tak didasari kenyataan. Soekarno melambung tinggi
dengan ide-idenya dan cenderung mengabaikan kondisi konkret bangsanya terutama
kondisi ekonomi.